Tangisan Bocah

Selasa, 27 Juli 2010 , Posted by GAPTEK at 02.35

"Bileh embu' moleh mbah?"* Kata-kata itu sering terucap dari mulut seorang anak perempuan yang berusia 4,5 tahun. Namanya Ana. Dia sudah ditinggal oleh kedua orang tuanya sejak berumur tak genap satu tahun. Orang tuanya pergi ke negeri jiran mengadu nasib untuk menentukan keberlangsungan hidup keluarga. Kini ana tinggal dengan nenek dan bibinya.

"Tang embu' beneh kakeh, tang embu' jiah"** sambil mengucap kata-kata itu di depan ibu kandungnya, sambil menunjuk neneknya. Lisa adalah seorang anak perempuan yang dilahirkan di Malaysia. Perkawinan ibu kandungnya dengan seorang TKI asal Kraksan, Jawa timur di negeri Jiran. Kini Lisa hidup dengan neneknya dan bibi-bibinya.

Dua kisah anak di atas hanyalah bagian kecil dari nasib anak-anak di wilayah kami. Kejiwaan mereka sangat mengenaskan. Selain karena kurangnya kasih sayang orang tua mereka, mereka di didik di lingkungan yang kurang mendukung pertumbuhan.

Saya sempat bingung dengan pola hidup masyarakat di wilayah kami. Tanah yang terbentang luas dan banyaknya sumber daya alam yang dapat di kelola di biarkan begitu saja. Masyarakat di wilayah kami lebih memilih untuk merantau di luar negeri. Walaupun resiko yang harus mereka tanggung sangat erat dengan bahaya. Tidak jarang, tetangga kami pulang dibungkus kain kafan karena sebab tertentu yang menimpa mereka di perantauan.

Saya melihat ada permasalahan kemanusiaan yang timbul akibat dari pengasuhan anak yang di tangani kurang tepat. Mayoritas masyarakat di wilayah kami berprofesi sebagai petani, bagi yang tetap tinggal di wilayah, dan sebagian besar lagi menjadi TKI. Alasan utama mereka adalah untuk mengejar status ekonomi yang layak.

Permasalahan yang paling utama adalah nasib generasi penerus mereka. Sangat banyak kasus-kasus pelecehan anak terjadi karena pengawasan yang sangat minim dari saudara-saudara orang tua mereka. Tidak jarang, para remajanya terjerumus pada perkara-perkara munkarot. Tapi...semua itu dianggap biasa. Justeru diacuhkan. Saling menyalahkan dan memojokkan.

Walaupun banyak anak yang berayah dan beribu, mereka tidak berbeda dengan yatim piatu. Tidak jarang anak yang tidak mengakui ayah ibu mereka sebagai orang tua karena sejak kecil sudah di tinggalkan dan hidup dengan neneknya.

Kini, nasib anak-anak itu terancam. Mereka harus rela hidup dalam lumuran lumpur kebingungan. Yang menjadi penguasa adalah para BAJINGAN. Karena mereka dapat menentukan nasib masyarakat. Bagaimana mungkin? Pasti kita bertanya-tanya. Apakah pemerintah tidak ambil andil? Pemerintah cukup bertepuk tangan ketika ada kasus yang menimpa masyarakat kami karana kantong mereka bertambah tebal. Bahkan mereka tunduk pada kebijakan bajingan.

Siapa BAJINGAN yang kami maksud? Bajingan itu adalah mereka yang diagung-agungkan dapat menentukan masa depan. Mereka beraneka ragam, bahkan tidak sedikit yang bertitel Hajji. Mereka menguasai dunia mafia, terutama di negara Malaysia. Setiap kasus yang menimpa masyarakat kami, merekalah yang menyelesaikan. Bak malaikat penyabut nyawa, mereka dapat merubah jadwal kematian.

Para pemuda tidak lagi menghargai waktu mereka untuk berkembang. Justeru berlomba-lomba untuk menjadi mafia kelas satu yang diagung-agungkan. Peredaran sabu-sabu, perkumpulan pencuri, perkumpulan pembunuh bayaran, dan perkumpulan-perkumpulan keji lainnya menjamur seperti kandang kumuh yang sengaja dibiarkan tumbuh subur.

Masyarakat sebenarnya risih dan khawatir ketika mengetahui nasib mereka. Tapi apalah daya, mereka takut untuk bersuara. Mereka memilih diam dan patuh daripada harus menerima ancaman dan jaminan nyawa yang siap melayang.

Daftar anak-anak gizi buruk dan pendidikan yang jauh dari harapan semakin bertambah. Mereka tidak lagi memegang teguh agama dan adat. Mereka memilih meluapkan kekecewaan dalam bentuk pola hidup hedonis.

Ketika malam larut, saya sering pulang dari kantor melewati perumahan warga. Saya sering mendengar tangis anak-anak balita. Sepertinya mereka haus belaian kasih sayang orang tua. Bukan nenek atau saudara-saudaranya.

Sampai kapan kami harus menderita di tengah-tengah tawa rakyat Indonesia. Kami terselubung dalam kemasan pemerintahan yang rapi. Bagaimana nasib kami 20 tahun yang akan datang. Ketika itu generasi yang berdiri adalah mereka yang saat ini menangis, meratapi kepergian orang tuanya di negeri orang.

Kepada Para Pembaca

Sebenarnya saya takut untuk menuliskan kisah hidup masyarakat kami di sini. Keterbatasan, iya...keterbatasan itu yang membuat saya berani. Toh pada waktunya nanti semua manusia akan kembali pada Ilahi Robbi.

Banyak kisah tragis di wilayah kami. Kami terlalu takut untuk menuturkannya.

-------------
*Kapan ibu mau pulang
** Ibuku bukan kamu tapi dia



StumpleUpon DiggIt! Del.icio.us Blinklist YahooTechnorati Simpy Spurl Reddit Google Twitter FaceBook

Buzz Facebook Digg twitter

Currently have 0 komentar:

Leave a Reply

Posting Komentar