Dimana Kebebasan?

Selasa, 27 Juli 2010 , Posted by GAPTEK at 01.14

Kami mengakui bahwa Indonesia telah merdeka sejak tahun 1945. Kemerdekaan itu menjadi kebanggaan kita semua.

Hingga kini, kata kemerdekaan bagi kami menjadi pertanyaan yang belum mendapatkan jawaban. Kami memang tidak merasa di jajah oleh penjajah seperti masa sebelum kemerdekaan. Kami dapat menikmati kehidupan dengan menghirup udara bebas dengan tenang. Tapi kami selalu merasa bahwa seluruh tindakan yang kami lakukan berada dalam kekangan yang lebih berbahaya dari penjajah tempo dulu.

Kehidupan Bermasyarakat

Masyarakat kami beranekaragam profesi. Poros kehidupan di pegang oleh tokoh agama. Tokoh agama oleh kebanyakan masyarakat dianggap sebagai sebuah kedudukan yang sakral.

Tokoh agama di wilayah kami terbilang cukup banyak sekali. Setiap kebijakan kemasyarakatan mejadi pedoman. Pertanyaannya; dari sekian banyak tokoh agama di wilayah tidak mampu menciptakan budaya hidup sesuai dengan harapan rakyat. Tokoh agama bagi rakyat; Rakyat sangat takut untuk menentang kebijakan tokoh agama. Bagi rakyat, tokoh agama adalah pengganti utusan Tuhan untuk kemaslahatan dunia. Sikap para tokoh agama; Kami melihat sikap mereka seperti raja untuk para rakyatnya. Seluruh titah mereka harus dihargai dan dipandang sebagai perbaikan. Kebijakan-kebijakan mereka tak ubahnya sabda. Perilaku tokoh agama; Mayoritas tokoh agama yang berada di tengah-tengah kami banyak yang lupa fungsi. Mereka menganggap bahwa rakyat adalah peluang keuntungan. Bukan lagi amanah dalam menjalankan misi keagamaan. Banyak dan mayoritas dari daftar tokoh sentral masyarakat menjadikan rakyat sebagai ajang untuk pengayaan diri sendiri.

Kami tidak benar-benar merdeka. Kami harus membiarkan keringat kami dihisap oleh tokoh-tokoh tersebut. Ketika kami melihat para tokoh yang berjubah memakan yang bukan haknya atas nama kami, kami tidak berani menentang. Kami biarkan mereka tetap menjadi sosok manusia yang bersih.

Dunia Pendidikan

Lembaga atau instansi pendidikan di wilayah kami sangat banyak sekali. Baik di bawah naungan Diknas atau Depag. Pertanyaannya; Hingga hari ini masih banyak pelajar yang bodoh. Banyak pelajar yang tidak memahami fungsi mereka sebagai pelajar. Mereka bangga di kandangnya sendiri. Seperti katak dalam tempurung, pelajar hanya mampu merasakan kesuksesan semu atas fasilitas pendidikan yang mereka terima. Ajang gengsi lembaga; Kami katakan sebagai ajang gengsi pendidikan karena setiap tokoh yang memiliki sebuah lembaga akan memiliki pangkat tambahan di rakyat. Pada awalnya niat pendirian lembaga pendidikan murni karena untuk pendidikan, pada perjalannya, para pemegang kendali terkecoh dengan janji-janji pemerintah yang memberikan segudang bantuan berupa uang. Pelajar adalah boneka; Semakin banyak data pelajar yang terdaftar, semakin besar peluang untuk mendapatkan bantuan. Faktanya, sekolah yang jujur sulit sekali untuk makmur, dan sekolah yang berkedok kejujuran semakin jaya dan banjir bantuan. Kami sering melihat ajang pembuatan proposal untuk mendapatkan bantuan. Menunjukkan mental pengemis di dunia pendidikan. Guru pendidik; Berbicara soal guru, kami sering menemukan guru-guru pamrih. Bukan guru yang kita kenal sebagai pahlawan mulia. Mereka mengajarkan kami pengetahuan dangkal. Mereka bersikap seolah takut jika kami lebih pandai sebagai murid. Mereka mengajari kami seperti robot-robot yang di isi program. Bagi mereka, bagi murid yang terpenting adalah 3M. Menulis, membaca, dan menghitung. Mereka tidak berfikir lebih mulia dari itu semua. Proses pendidikan; Kami terkadang iri dengan sekolah-sekolah maju. Padahal kami sama, membayar iuran kegiatan, duduk dibangku dari pagi hingga pulang. Kenapa kami selalu menyandang sebagai pelajar yang tinggal di Kabupaten yang terbodoh nomor satu. Fasilitas tabu; Kami diberikan doktrin bahwa suatu hari nanti sekolah kami akan penuh dengan fasilitas penopang pendidikan. Kami diminta untuk membayar iuran. Hingga kini, apa yang kami dapatkan. Sekolah kami semakin buruk kualitasnya. Kami melihat di setiap proposal yang diajukan, sekolah kami dilaporkan sebagai sekolah dengan fasilitas lengkap. Ketika bantuan turun, kami tidak pernah tahu untuk apa bantuan itu.

Sebagai seorang pelajar, kami tidak pernah diberi hak penuh untuk mengenyam pendidikan. Kami tidak pernah diajari cara untuk tertbebas dari kebodohan. Kami tidak pernah diajak untuk ikut serta menentukan masa depan. Kami tidak senang berada di sekolah. Kami terkekang dengan adanya peraturan-peraturan. Ayah ibu kami hanya tahu bahwa kami sekolah untuk pintar.

Pemerintahan

Program-program pemerintah cukup memikat hati untuk berperan serta menyukseskan. Kami bangga dengan pemberitaan langkah-langkah pemerintah untuk mengentas kemiskinan dan kabodohan. Pertanyaannya; Hingga hari ini semua agenda pemerintah hanya sebatas konsep dan tidak kami rasakan. Kami sering melihat kebohongan dari agenda pemerintah yang berjalan di tengah-tengah masyarakat. Nasib yang menunggu keberuntungan; AH...pemerintah memang payah. Mereka mencari kolusi di tengah-tengah masyarakat berbudi bejat. Mereka bersedia menjalankan program ketika nominal angka keuntungan bagi mereka disetujui dan dianggap sebagai hibah. Sampai kapan; Pemerintah bagi kami adalah segalanya. Selama itu sesuai dengan prosedural yang ada dan disepakati bersama. Jika kami ketakutan dalam bermitra dengan pemerintahan, kapan kami bisa menjadi kebanggaan. Ketakutan kami adalah dianggap sebagai pelanggar hukum karena mereka yang duduk di pemerintahan lebih lihai dalam penyajian data.

Tidak ada yang membanggakan bagi rakyat dari kinerja pemerintahan. Semuanya bersifat tabu dan hanya mengenyangkan pihak terpilih yang dapat dijadikan mitra pemerintahan. Nasib para masyarakat sangat mengenaskan. Mereka sukses bukan di ranah sendiri, mereka harus hijrah ke luar wilayah. Mereka banak lupa bahwa mereka juga berasal dari ranah di mana kami tinggal saat ini.

Para Pembaca Yang Budiman

Bukan maksud kami menghujami seluruh rentetan peristiwa hidup yang kami alami setiap hari. Kami hanya tidak merasa hidup ini benar-benar merdeka. Setiap hari hidup kami diatur dengan ketetapan-ketetapan yang kami rasa sangat merugikan. Kami takut untuk bertindak menuntut keadilan. Banyak diantara kami memilih untuk diam dan mememilih hijrah ke luar daerah karena di sana mereka dapat hidup dengan tentram.

Kebatilan bagi kami adalah sebuah pandangan biasa. Kami harus merelakan jika roda masyarakat di pegang oleh para manusia bejat. Kehidupan kami semakin merosot. Kami terjerumus pada pilihan salah. Kami takut untuk mengakui itu semua di dunia nyata.

Maksud kami menuliskan ini semua, mungkin diantara sahabat Indonesia ada yang peduli dengan nasib kami. Kami mohon, ajarkan kami untuk dapat meraih kemerdekaan yang sebenarnya.

StumpleUpon DiggIt! Del.icio.us Blinklist YahooTechnorati Simpy Spurl Reddit Google Twitter FaceBook

Buzz Facebook Digg twitter

Currently have 0 komentar:

Leave a Reply

Posting Komentar